AMBANG EGO

Retakan itu pecah memekakkan pendengaran, menyalurkan perih yang terbawa arus menuju jantung. Darahku berdesir seakan tak terima dengan keputusan yang kau suguhkan. 
'Aku tak pantas menerima ini, Tuan' pikirku dalam ego, mencoba beralasan agar kau tetap dalam genggaman, meski kutahu semua hanya bualan.
Setelah semua yang kuberi, kau masih tak memahami bagaimana tentang kita yang telah lama hilang, sisa dari kita hanya memori.
Egomu tinggi, Tuan. Namun kau lantang mengatakan tidak? Berkacalah! Bagaimana kau dan segalamu tak mengerti tentang keberadaanku selama ini.
Berjalan menyusuri setiap lembar kisah, melumurinya dengan luka pekat—tanda semua telah usai. 
Tuan, kuakui aku serakah jika menyangkut tentang dirimu, aku fakir yang haus akan cintamu.  
Katakan! Bagian mana yang tak kupahami dari kita? Aku bahkan rela memberikan seluruh hasrat dan angan untukmu.
Tuan … rinduku adalah langit biru yang kau ubah jadi kelabu karena hadirmu tak hanya bernada aku.
Tuan … rasaku adalah ragu yang selalu kau pertanyakan.
Tuan… hadirku adalah bunga mekar yang wanginya kau gemari, lalu ketika layu, kau membuangku dalam sudut tersendiri yang angan saja tak terlihat nyata.... 
Ada hasrat tentang nama kita dalam doa, Tuan. Barangkali kau lupa … kau memberi segalanya, tetapi laku dan hatimu selalu bertentangan sampai kita sama-sama hancur tak bersisa, tak bernada, tak bernyawa; karam.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death