Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

ALPHABET

 Aku telah mati Ku ulangi, aku telah mati Dalam setiap kisahmu tentangku Aku bahkan tak pernah terlihat bernyawa Namun kau, hidup bebas dalam setiap detak jantung yang tak bersuara Kau ada dalam setiap goresan pena perihal bahagia dan luka Kau sangat hebat dalam menuliskan keduanya Kau tahu? Kau telah berdiri pada corak tergelap sebuah warna, Kau enggan memberi sedikit warna pada tubuhmu  Yang kian memudar Bukan tidak bisa Melainkan dirimulah yang dengan sadar mengunci diri  Agar tak terkena indahnya warna Aku mati Namun percuma saja, Karena kau tak akan peduli! Seperti ini yang kau harapkan ,bukan? Aku yang memilih berhenti lalu kemudian pergi Kau harus tahu Bahkan hari dimanaku dengan sukarela melepasmu Aku tetaplah menjadi orang yang mencintaimu tanpa keraguan

MASA LALU; SUNYI

Masa lalu milik sunyi  Dalam cahaya lampu jalan dini hari Dengan wajah kabut seperti Angin lembut, menelantarkan Kangen yang sulit dibujuk Kali ini Ia merambat di tengah sepasang kakimu yang beku Ada sebatang jalan yang dulu ingin kau ambil Yang tak sengaja diceritakan seorang ibu dalam doa kecilnya Yang senantiasa membakar kayu-kayu di tungku itu Yang tak pernah ingkar pada subuh Yang membara di ufuk terjauh Masa lalu memang sunyi; terkadang matahari

SEPUCUK SURAT UNTUK MANTAN KASIHKU, SHAFA

"Tuan, dikatakan atau tidak cinta tetaplah cinta" Dua belas hari aku mencari, disetiap sudut kota yang kita lalui Dua belas baris aku mencari, kerinduan yang telah lama mati Kucari, kudalami, ternyata yang kutemu hanya ragu Dikatakan atau tidak, cinta tetaplah cinta  Bagaimana mungkin kau berkata seperti itu, fa? Sampai saat ini aku tak mengerti Bukankah cinta harus disingkap, ditangkap,  Diperjelas keberadaanya? Cinta tetaplah cinta Tetapi tanpa kata, bagaimana aku tahu apa yang kau rasa? Tuan , meski kau bawa ragamu melanglang buana Aku tetap di sini menjaga hati dan menunggumu Kembali Tuan, bergulung sepi aku disini Makan hati aku menunggumu Sampai kapan, fa? Sampai kapan harus kutanggung rindu ini seorang diri? Nana

PINTU KELUAR

Maaf, sebab aku tak henti menuai luka. Sudah, sebaiknya kau berpaling dan melanjutkan langkah.  Lelah, perjuangan ini hanya satu arah. Tak guna, sayang.  Menanti pengembara ini menemukan rumah adalah hal paling salah.  Aku sejak mulanya hanya mencari tempat singgah, dan kau tahu itu.  Senyuman yang kutawarkan hanyalah sebentuk penghargaan, atas kesediaanmu membagi tempat bernaung, melindungiku dari dunia, hingga kau lupa menyelamatkan hatimu sendiri.  Pergilah, aku tak kuasa menyaksikanmu terus menelan tangis; membisu.  Tak guna, sayang.  Tak terhitung degup kau korbankan untuk hatiku yang bahkan bukan mengirimkan detaknya untukmu.  Kau bukan jawaban, dan kau tahu itu. —Nana Lepaskan, sudahi, lupakan