Aku tetap pada orbitku, begitu juga kamu.

Layaknya planet-planet yang mengorbit matahari, kita berevolusi; berkelana satu putaran penuh untuk menemukan tempat kembali. Aku tetap pada orbitku, begitu juga kamu; angkuh, enggan berdampingan untuk salling melepas jenuh.

Jika boleh memilih aku ingin menjadi bagian darimu, entah sebagai bulan, angin, batu, kayu, ranting atau apa pun itu. Bukan menjadi planet lain yang tak bisa keluar dari orbitnya, bukan menjadi planet lain yang bisa bercengkrama adalah bagian dari prtoses berakhirnya semesta.

Aku berotasi dalam revolusi, memninang sepi sembari memikul atmosfer yang dihujani meteor berkali-kali. Belajar memahami kesendirian, seab jika aku tak mampu mengolah beban partikel penyusun tubuhku akan hancur berserakan-begitu juga dengan harap perihal hangatnya sebuah pelukan.

Barangkali; aku akan menunggu habisnya masaku, berharap pada reinkarnasi yang akan menjadikanku bagian dari orbitmu. Lalu kita berotasi tanpa takut bencana, hingga revolusi setiap tahunnya tak memancing fatamorgana; perihal kita yang nyata, namun bersama hanya menjadi mitos yang tak kunjung reda.

Tapi itu hanya ilusi dari planet yang hampir mati, nyatanya aku berevolusi seorang diri, merawat malam dan pagi dalam rotasi. Sesekali melihatmu dari kejauhan, di jalur yang berbeda, di jarak puluhan tahun cahaya; yaa, kita, tak akan pernah bersama.

Lantas kita menjalani garis hidup yang sduah semstinya; menunggu berakhirnya pijar matahari, menunggu rotasi berhenti, menunggu atmosfer melebur, hingga racun antariksa memporak-porandakan harapan yang sudah dibangun. Lalu; kita lenyap semuanya, tanpa sekali pun pernah bersua atau bahkan bertukar cerita.

Nana, di Bandung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death