Apa-Apa yang Tak Pernah Disebut
Pak, rasanya kita jarang sekali bercerita.
Seingatku, perayaan saat manusia kecil kerap kali
dibuai dari titik paling sederhana. Seperti misal, aku
diusahakan sebegitu hebatnya ketika derai hujan
meggema menuju bumi. Bapak mengantarku dengan
motor tua dan jas hujan usang yang membaluti tubuhku.
Seolah abai dengan permainan air yang yang menghujami
bentala. Bapak membelah jalanan basah bak ksatria hebat.
Lalu aku di dalam kudung menebak-nebak, mana yang
sampai lebih dulu di tujuan? Ragaku, atau doa Bapak
yang mengikuti jejak jalanku yang tak pernah mampu
kuterka dengan tepat?
Papa mengeja bahasa cinta dengan cara yang rumit.
Alih-alih melambungkan ribuan kalimat afeksi dengan
senyum penuh impresi ketika mengutarakan makna
bangga, Bapak hanya akan menetap tanpa suara.
Sampai-sampai di suatu waktu, bentuk cintanya kerap
kali kupertanyakan. Apa rasa cintanya jauh lebih kecil
dari rintik hujan sehingga mengutarakan sayang tak
pernah mampu diusahakannya?
Lalu aku mulai paham, bahwa Bapak tidak diberkahi
banyak kosa kata cinta untuk bisa didengungkan pada
anak-anaknya. Ia tak selihai penyair yang mengabadikan
manusia terkasih dalam bait puisinya, tapi mengganti itu;
Bapak mampu mengisyaratkan eksistensinya sebagai
bahasa cinta. Jarang bersuara, tapi telinganya tak pernah
redup untuk mendengar celoteh kecilku.
Bapak mengusahakan banyak mampu dalam diamnya,
sehingga untuk memahami satu per satu aksi baiknya,
aku perlu memhaminya dengan duduk tennag. Bentuk
sayangnya tak berupa syair atau nyanyian yang
menenangkan. Kadang kala, berupa makanan hangat
untuk mengganti keluhanku yang tengah kelaparan.
Kadang kala, berupa uang nominal besar untuk
kusimpan dalam saku celana. Kadang kala lewat
pesan singkat dalam pertanyaan sederhana, " Sudah makan
atau belum?" yang didoakan semesta agar sampai
dengan bentuk utuh pada anaknya.
Kita jarang sekali duduk tenang di meja makan, untuk
sekedar makan dan berkirim cerita. Namun pada setiap
proses pendewasaanku, presisi Bapak punya bagian
besar unruk melukis aku di masa sekarang.
Aku jarang sekali bercerita, tapi sebagai gantinya, doaku
tak pernah berhenti mengudara menuju langit agar
sehat dan bahagia selalu mengiringi jalan Bapak. Semoga
risau yang Bapaj lipat diam-dia di dalam tas, segera
ditenangkan oleh Tuhan dengan cara magis yang
mampu kita tebak. Semoga bising dalam kepala yang
tak pernah Bapak bagi pada siapa pun, lekas mereda serupa
isyarat dongeng tidur yang mengistirahatkan seluruh
penduduk bumi di malam hari.
Lalu semoga, pada kehidupan Bapak di bumi, aku mampu
menyematkan kata bangga menuju Bapak. Semoga gagal
berhenti mengikuti jalanku sehingga suatu waktu,
tatapan bangga mampu kudapatkan lewat jendela mata
Bapak. Semoga seluruh hal sudah Bapak korbakan
di masa muda-yang tak pernah berhenti sampai masa
tua-mampu kukembalikan dalam bentuk utuh dalam
jumlah yang sepadan.
Lalu, Pa. Mungkin aku belum pernah bilang ini. Tapi
dalam seluruh genapjiwaku, menjadi anak Bapak adalah
hal yang paling membanggakan selama aku hidup.
Komentar
Posting Komentar