Kenapa rasa memiliki begitu angkuh, bebal, dan keras kepala?
Dua tahun ke belakang, aku sibuk menata perasaanku, menata pikiranku, menata hal-hal yang kutinggalkan di belakang, menata...hidupku. Dua tahun ke belakang terasa seperti musim perenungan panjang. Aku banyak berpikir, dan sialnya, semakin banyak aku berpikir, semakin banyak aku menangis pula. Rasanya seperti tas berat yang sudah kulepaskan dari bahuku jauh-jauh hari kembali kupikul lagi dengan beban dua kali lipat.
Kenapa segala sesuatu yang berurusan dengan hati dan perasaan manusia itu lama sekalli usainya, ya? Kenapa perasaan manusia selalu punya ruang-ruang yang menyediakan tempat bagi kerumitan singgah bahkan menetap? Kenapa rasa memiliki itu begitu angkuh, bebal, dan keras kepala? Kenapa segalanya yang kupikir sudah membaik pada satu waktu bisa kembali jadi senjata yang melukaiku lagi? Pertanyaan-pertanyaan ini jadi sarapan, makan siang, makan malam, juga cemilanku sehari-hari.
Padahal sudah dua tahun lebih berlalu, tetapi ternyata tak banyak yang berubah. Atau sebenarnya banyak yang berubah, tetapi tidak kusadari? Dua tahun cuma hitungan waktu, dan duka cita barangkali tak punya tanggal kadaluwarsa yang pasti. Tak ada yang bisa memastikan dua tahun bisa menghapus banyak hal, menyembuhkan banyak luka, atau membuatku berhasil melupakan sesorang. Tak ada yang menjamin.
Selama ini, aku mengaku sudah berhasil menyelesaikan semuanya. Ya, semuanya. Segala perasaan-perasaan menyebalkan yang masih tersisa, luka-luka yang tak kasat mata, rasa marah yang berapi-api dan dipendam, kupikir segalanya sudah berhasil kuselesaikan dengan baik. Kupikir tak ada lagi amarah itu, tak ada lagi luka itu, tak ada lagi kecewa itu, tak ada lagi ribuan "seandainya" yang kurapal dari mulutku, dan...tak ada lagi kasih sayang yang dipeluk doa-doa baikku.
Tapi tiba-tiba, di hari ini ketika perempuan itu mengirim sebuah pesan entah dari mana bermula, rasanya semuanya seperti baru. Rasanya aku kembali jatuh tersungkur lagi, menolong minta diselamatkan lagi. Aku kembali menangis berjam-jam sambil menyumpal telinga mendengarkan lagu yang sama lagi. Aku kembali berandai-andai lagi, seandainya dulu aku berusaha lebih keras lagi. Aku kembali berharap yang terjadi dulu hanya mimpi buruk yang tak akan jadi nyata lagi. Aku, aku kembali masuk ke kotak gelap ini.
Mungkin aku jadi lebih emosional karena meinilik lagi kalau waktu secepat itu melajunya ya. Orang yang kusayangi dalam buku-bukuku, awal dan akhir dari tulisan-tulisanku, sudah sejauh itu langkahnya. Kami barangkali tidak akan berpapasan di jalan lagi, tidak akan saling menyapa, tidak akan lagi tahu apa yang terjadi dengan kehidupan satu sama lain. Setelah ini barangkali kami benar-benar akan kembali ke kehidupan masing-masing menjadi dua orang yang asing yang terlanjur tahu terlalu banyak satu sama lain.
Mungkin aku masih akan selalu menyimpannya dalam tulisan-tulisanku. mungkin dia masih akan terus membawa secuil kennagan itu untuk diingat bila perlu. Mungkin segalanya tak akan membaik dalam waktu dekat. Mungkin kami akan saling melupakan. Mungkin kami akan saling mengingat. Tak ada yang tahu benar. Manusia kerap kali menipu dirinya sendiri.
Dadaku rasanya sekarang seperti ditindih batu besar. tetapi aku bahkan tak paham bagaimana cara mengeluarkannya karena ternyata menulis ini tak membuatku lega. Kenapa rasa memiliki begitu angkuh, bebal, dan keras kepala?
Komentar
Posting Komentar