dan-sepanjang bentangan kebisingan di bumi, memang selalu mamah penenangnya.
Mah, dulu sekali aku menyenangi bermacam pemberian tanpa harus menyuarakan pinta. Mah, dulu sekali penyebab tangisku hanya karena rebutan remot tv dengan mbak atau mas. Mah, dulu sekali penantian terbayar lunas oleh kepulangan bapa dengan sebungkus gorengan atau seringnya tangan kosong, namun entah mengapa aku selalu lega. Mah, dulu sekali buncah perasaan kudapati lewat selembar kertas ulangan dengan angka sembilan. Mah, dulu sekali aku mudah menerima.
Hingga perjalanan hidup beserta bayang-bayang bak mimpi buruk tak lelah datang padaku. Entah bentuknya deretan luka yang kian hari kian beraneka penyebabnya, atau karena kini ruang cerita yang dulu sempat hangat milik kita sudah dikeruk habis oleh tersitanya waktu karena hidup yang melaju.
Mah, apakah ini namanya hilang arah? Mah, apakah ini pesan bernada lirih yang tersuarakan oleh melemahnya suaramu yang dahulu adalah pengingat penuh kelakar itu, yang bunyinya, "Na, jangan lupakan bahwa seluruh dirimu dibesarkan oleh tumpukan kuat dan kerelaan. Luaskan hatimu, Na. Karena bumi akan merawat si pemilik lapang hati itu."
Entah pesan itu berjatuhan di teras rumah kita, atau justru kubawa melangkah meninggalkan rumah, yang kuragu apakah untuk melanjutkan hidup, atau justru berpura-pura bergerak karena mungkin saja hidupku sudah mati sejak lama.
Mah, apa yang harus diterima jika awalan puluhan saja sudah begini rasanya?
Lalu ingatan terputar bagai igauan tidur tanpa rencana mengais perhatianku. Kuingat kala itu Mamah bercerita, "Dulu, mamah juga susah sekali menerima bahwa perjalanan hidup kian hari kian menghimpit rasanya. Sampai-sampai mamah menolak ragam senang dari hal-hal sederhana, yang padahal harusnya sudah menjadi kebiasaan. Mungkin memang, jajaran cerita di luar rumah terdengar meriah, sampai-sampai terasa ada palang kasat mata yang menghalangi kita bergembira. Padahal, senang bisa diundang tanpa syarat apa-apa. Baik sekali ia ingin menghibur manusia yang seringkali buta menerjemahkan rasa."
"Hingga akhirnya mamah paham, bahwa sulitnya menerima adalah karena kita melupakan apa yang sudah kita punya. Bahwa penerimaan sukar dilakukan, karena kita sibuk meminum rasa senang di laci kamar, tanpa mau kembali menikmatinya bagai suapan pertama di kala lapar. Iya, namanya manusia. Suka berandai berlarian di putihnya awan, padahal lampu tidur saja suka lupa dimatikan. Itu manusia, Na. Suka menuntut, tapi banyak lupanya. Manusia merasa lelah mencoba menerima karena seringkali mengabaikan yang sudah ada."
"Tapi manusia juga bisa hebat, Na. Jika lihai memaknai yang dipunya, mengusahakan sesuai kapasitasnya, lantas merayakan semaraknya pesta dengan sepiring lauk yang masih tersedia dirumah."
Kalimat mamah selanjutnya bersimpuh teduh di hatiku, "Na, belajarlah menerima yang terjadi, yang sudah bersamamu, karena bagaimanapun bentuknya, selalu ada pelajaran hebat dari sana."
Kemudian, mamah tersenyum meluruhkan ragam berisik bertahun-tahun sudah menjadi penghuni tetap di kepalaku, bahkan mungkin sudah menjadi pengharum ruangan kamarku. Mamah tersenyum melindungi satu nyawa, bagai payung yang tak kita sedari selalu ada di kantong tas kerja. Senyuman mamah, senyuman yang bahkan lebih istimewa dari seluruh isi semesta.
"Jadi, mamah cuma mau kamu hidup sebagaimana adanya. Sebagaimana mestinya dalam kamus bernamakan anak mamah. Tak perlu berlomba pada siapapun mimpimu itu, kamu tetap anak mamah yang sudah menjadi pemenang dalam kejuaaraan menghabiskan menu makanan dirumah. Kelak, kamu juga akan jadi pemenang dalam mendoakan ibu. Bahkan sekarang, kamu sudah menjadi pemenang dari sebutan namamu yang sudah milyaran kali Tuhan dengar. Kamu sudah luar biasa dalam doa mamah, Na."
Kudapati tenang, lantas menang dari seluruh kebisingan di bumi. Lagi-lagi, memang selalu mamah pemenangnya.
Komentar
Posting Komentar