Jadi...Apa yang aku rasakan?

Menulis bagiku kadang-kadang jadi semacam dilema. Pada satu sisi, aku memiliki hasrat untuk dibaca banyak orang. Namun pada sisi lain, aku merasa bahwa hasrat tersebut akan mengarahkan diriku untuk menulis hal-hal yang bukan aku.

Maka memang aku sendiri masih meraba-raba apa sebenarnya makna menulis ini bagiku. Meski pada saat yang sama pun aku punya keinginan kuat untuk terus menjalaninya.

Banyak buku, essai, audio, maupun video mengenai menulis yang aku konsumsi. Semua itu aku rasa belum begitu cukup bagiku. Seperti masih saja selalu ada yang rasanya kurang kena ke dalam sanubariku sendiri.

Apa aku mesti menulis agar dunia memahami pikiran dan perasaanku?

Apa aku perlu menulis agar orang-orang memandang sebagaimana sudut pandangku?

Apa aku harus menulis agar pembaca bisa menerima dan mangamini opiniku?

Aku rasa kadang pertanyaan-pertanyaan semacam itu malah membuat menulis ini jadi semacam beban. Kesenangan dan kenyamanannya jadi berkurang.

Dilema pun mengemuka, apa aku menulis untuk haribaan pembaca atau demi diriku sendiri? 

Meski aku menegaskan bahwa aku menulis demi diriku sendiri aku tentu tidak dapat melepaskan diri dari pembaca. Toh aku mempublish tulisanku di ruang terbuka yang mana mestillah ada yang membaca, walau hanya satu dua orang. Apa pikiran dan perasaan satu dua orang itu mesti aku pertimbangkan saat mengalirkan kata-kataku? Dilema.

Mungkin dilema semacam ini konyol. Tidak ada artinya dunia tetap berputar dan waktu terus berjalan. Aku yang memusingkan kekonyolan ini bisa jadi malah akan tertinggal.

Akhir-akhir ini Indonesia begitu riuh, Baik di dunia nyata maupun maya. Bila orang-orang bergegas untuk nimbrung dalam suasana riuh itu dengan kata-kata dan tulisan-tulisan mereka, aku justru malah malas. Entah mengapa, aku rasa diriku pribadi tidak begitu suka suasana semacam itu sehingga malas masuk dan mengambil peran dalam perbincangan.

Namun ada juga bagian dari diriku yang mendorong untuk bersuara. Aku sempat waktu masih duduk dibangku kelas 11 ikutan turun kejalan berlagak seperti aktivis. Ada bagian dalam jiwaku yang terbentuk dengan aktivisme itu sehingga punya semacam tanggungan moral untuk bersuara bagi isu-isu tertentu.

Apa pun itu, aku rasa aku hanya perlu fokus ke sini, ke ruang ini dan memusatkan perhatianku pada makna dan kata-kata yang hendak aku hadirkan di blog ini. Baik bagi diriku sendiri maupun mereka yang sempat mampir melihat-lihat kata-kata dan makna itu.

Kadang kala begitulah kata-kata. Begitulah makna, keduanya hanya butuh ruang untuk mengada. Bukan perhatian atau sanjungan keberadaan kata-kata itu kadang justru menjadi makna pada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak lagi memerlukan pengakuan-pengakuan.

Dia sudah bahagia hanya dengan menjadi ada.

Maka aku menulis maka aku ada. Aku ada maka aku bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death