preparation for death

Sejak resmi jadi orang dewasa saat membagikan nasi kuning di ulang tahun ke dua puluh., aku masuk ke sebuah dunia baru yang dicipta secara kolektif oleh para orang dewasa lainnya. Realita dimana setiap pilihan hidup adalah persiapan menyambut hari kematian.

Waktu masih bocah aku pikir masa depan itu tentang profesi impian yang disalin ke buku tulis untuk tugas Bahasa Indonsesia. Naif betul karena dulu aku pikir membangun masa depan itu tentang berjuang meniti anak tangga supaya bisa sampai ke puncak cita-cita. "Apa susahnya sekedar menjajaki anak tangga? Tempat mainan mall di lantai lima dan gedung mall tidak punya eskalator. Naik turun tangga perkara gampil." Percaya diriku mengungguli puncak Himalaya dulu.

Realisasi kemudian berdatangan ketika aku jadi remaja. Ternyata terangnya kulit dan angka yang muncul di timbangan itu lebih penting dari fasihku melafalkan sejarah politik orde lama. Tinggi badan ku lebih disoroti ketimbang berdirinya aku didepan semua peserta olimpiade matematika itu sebagai pemenang. Buah pikiran orisinil tentang teori sosial politik yang pernah membawa percaya diri melambung dan talentaku sebagai pemanah yang mamah bapak agung-agungkan tidak ada nilainya karena wajahku penuh bintik jerawat. Tidak tersisa tempat kosong raga untuk dipuja sebab sesak akan cela.

Di bangku sekolah menengah atas, mimpi buruk mulai menjelma bahkan ketika aku terjaga di siang bolong. Di bangku sekolah menengah, satir mulai aku jalin khusus untuk diriku.

Jangan minta aku jabarkan apa-apa saja sebutan yang aku sematkan pada diriku kala itu. Setan saja segan mendengar bengisnya.

Tapi gila juga ternyata aku bisa bertahan melewati petaka yang Tuhan gariskan. Walaupun terseok, tapi aku keluar hidup-hidup. Aku sudah tidak lagi harus pakai searagam putih abu-abu! Merdeka!

Lalu saat melewati transisi sebagai mahasiswa kepalaku mulai mampat dengan berbagai pertanyaan yang lebih kompleks tentang masa depan.

Perjalanan menaiki anak tangga yang mengarah ke puncak masa depan terasa lebih berat karena di kaki terikat beban baru; konsiderasi, toleransi,dan ekspektasi.

Waktu memilih kemana kakiku akan meneruskan langkah, aku dikejutkan dengan sebuah mandat bahwa perasaan orang lain harus jadi pertimbangan utama. Kalau aku meniadakan kepentingan yang lain tandanya aku egois.

Aku bingung. Tapi diberitahu nadzif bahwa itu yang namanya konsiderasi. Orang dewasa melakukan itu setiap mau lanjut berjalan.

Tapi rupanya menomor duakan angan tidak cukup, karena menjadi orang dewasa harus rela diinjak entitasnya sebab kami punya kewajiban bertoleransi.

Ya, aku pikir tidak masalah.Untuk menghindari konflik dan menjaga kedamaian publik.

Oke, aku akui sebenaranya ada alasan lain, aku ingin dianggap sebagai orang baik. Sebab kata orang rumah kalau kita dianggap sebagai pribadi berbudi baik akan dipermudah jalannya.

Tapi semakin jauh aku melangkah ternyata ekspektasi bukan cuma tentang jadi orang baik. Saban hari orang sekitar jadi gemar menghujani kewajiban yang ingin sekali aku sangkal.

Mereka menggambar linimasa;
umur segini harus sudah lulus, karena kamu harus mulai kerja
umur segini harus mulai kerja, karena kamu harus mulai menabung untuk masa tua
umur segini harus sudah menikah, sebab kamu tidak mungkin mampu meraih bahagia jika seorang diri
umur segini pikirkan perkara keturunan, supaya ada yang menjagamu di masa tua dan nanti mengurus surat-surat kematianmu.

Bahkan ada obrolan perkara lokasi lahan pemakaman yang paling strategis. Ya memang ujungnya manusia itu kematian, lantas masa kini digantungkan hanya pada itu?

Pemilik mulut-mulut culas itu bahkan tidak tahu aku masih sering segan bertanya arah jalan ke satpam di mall.

Besar keinginan untuk menolak mengonversi tugas karangan cita-citaku yang dapat ponten delapan puluh lima menjadi asuransi masa tua. Dari narasi mimpi jadi persiapan perihal kain kafan? Mana aku sudi.

Mamah memperingatkan bahwa kalau nekat aku akan dikatai tolol, aku tertawa sumbang dan bilang pada mamah yang harap-harap cemas, "biar saja. aku engga terganggu atas kelancangan mereka, kebebasan mengoreksi itu tidak bisa direnggut tapi aku juga engga harus manut."

Beberapa waktu setelah kontemplasi omong kosong ini, kalau aku goyah dan hendak menanggalkan mimpi aku akan mengingatkan diri bahwa kewarasanku sejatinya ada di puncak preferensi.

Kalau masalah hidup dan mati tidak  usah ku jadikan resah sampai tidak bisa tidur. Aku pintar, aku akan belajar mengatur. Perlahan, salah ini itu tapi nanti pasti mahfum.

Kalau mereka menjauh karena menganggap aku makar, harga itu siap aku bayar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya