Pulang Menuju Tenang
Pelataran pemberhentian itu sudah di depan mata. Suara berita tentang rute selanjutnya menggema. Tatapanku nanar terseok-seok karena manusia menjelma rusa liar yang ingin pulang ke perkumpulannya. Entah menuju keluarga, atau hanya pura-pura akrab pada keramaian agar tak terlihat begitu sendirian.
Lalu gerbong tadinya terasa bagai gempa, mulai berhamburan bebannya. Jika kereta itu punya suara, mungkin begini kalimatnnya; "Dasar manusia! Memang sedikit sekali sabarnya." Karena barangkali kesabaran sudah ikut terbuang bersama gerutuan kecil, atau sumpah serapah mengeluhkan sore riuh yang tentu saja esok masih juga sama. Bait akhir dari gentayagan suara si kereta mungkin berupa pertanyaan; "Sebenarnya manusia sedang mengejar apa?"
Jika saja kereta panjang itu benar-benar bersuara, lantas menakuti ribuan manusia di sini, aku yang akan maju mengajaknya berkenalan. Mungkin kami akan berlarian mencari warung makan sebagai perantara tanya jawab seperti acara kuis yang dahulu jadi tontonan wajib keluarga.
"Menurutmu, manusia mengejar apa? Mengejar rehat? Bukankah ia bisa saja libur esok hari?" tanya Si kereta. Lantas kujawab, "Tentu bisa. Tapi saat itu terjadi, ia pasti akan libur esoknya lagi, esok kesekian kali, sampai dapat kerja yang baru lagi." Aneh, bukan? Bahkan kata libur begitu mahal, sampai-sampai hanya bisa dibayarkan dengan panggilan atasan yang menghadiahi surat peringatan.
Tak ada yang berubah. Putaran zaman ya begitu saja alurnya. Berulang-ulang mencipta cerita. Karena mungkin manusia bukan sedang mengejar namun menyeimbangi waktu. Sebuah denting yang tak punya jadwal keberangkatan, yang juga tak menunggu antrian, tapi anehnya kita selalu tahu ia akan bergerak kemana.
Mungkin segala pertanyaan Si kereta akan kutuntaskan dengan pengertian yang merangkum jutaan hati manusia. Bahwa manusia mengejar pulang. Bahwa manusia merindu tenang. Bahwa segala gundah dan resah yang menghimpit mereka di antara jam-jam tersibuk dunia, membutuhkan jeda; yang barangkali mereka temukan lewat jalanan sepi yang mendukung perenungan; atau bisa jadi, lewat sambutan hangat anggota rumah; atau justru cukup dengan keheningan kamar sebagai nyanyian tidur yang langsung menyenyakkan.
Begitu banyak jenis tenang. Tapi tak satupun berkenan berlama-lama. Karena hidup harus terus berjalan - yang luar biasanya, beriringan dengan ragam kejutan yang bentuknya masalah atau pelajaran berharga.
Itu makanya, tenang adalah barang paling mahal sekaligus paling laris. Habis tak berisisa seperti jejak penumpang yang berhamburan meninggalkan stasiun kota. Tenang adalah sebungkus yang sedikit isinya, namun perlahan-lahan dirasa untuk menjaganya agar bertahan lebih lama. Dan ketika manusia sudah mampu menjinjing tenang dalam kepalanya, ia laksana kapal yang berlabuh menyusuri laut tanpa ujung, yang jika pun ada badai gemuruh ia tetap kokoh tanpa riuh. Karena ia tahu, bahwa air yang pasang setinggi gedung pencakar langit pun sewaktu-waktu akan surut dan mereda.
Manusia merindu tenang, sekaligus mengajak berdamai buntalan gelisah yang berlalu-lalang. Bukan untuk menyerah melainkan untuk mempertahankan diri agar senantiasa baik-baik saja. Maka, jika bertemu dengan manusia yang terlihat menyimpan waktu yang berlarian, barangkali ia bukan tengah berlebihanm namun ada kehidupan yang harus tetap dilanjutkan.
Komentar
Posting Komentar