LUKA

Perempuan yang merayakan Desember dengan mengundang begitu banyak LUKA

Kepada Desember tempat terbitnya harapan. Perempuan itu terduduk di beranda rumah. Matanya fokus menatap langit yang mulai memudarkan kegelapan. Ia menanti subuh segera bergeser. Fajar datang membuka gerbang pagi. Matahari terbit serempak dengan harapan-harapan yang tumbuh di halaman waktu.

Diliriknya kalender. Di sana Desember menyuguhkan pilu. Oleh piring-piring berisi kenangan, juga gelas-gelas yang isinya nyaris tumpah sebab teramat sesak menampung cairan duka. Ditatanya hidangan kepedihan di atas meja kaca yang mulai ramai oleh tamu undangan berinisial L. Setiap yang datang pastilah mereka pemilik nama yang hanya tersusun satu kata, namun mengandung banyak derita.

Hari ini kamis paling kelabu. Perempuan itu tersenyum miris merayakan hari kelahirannya dengan memulai ritual tahunan yang dirutinkan di tiap dua belas hari sebelum berganti tahun.

Dimulainya pesta dengan mengunjungi pemakaman. Ia mulai menggali dengan sepasang tangan tak mengenggam satu pun alat. Katanya menikmati kepayahan dengan menciptakan lahannya sendiri. Tak lain tuk menampung, sekaligus mengubur seluruh kesedihannya. Hujan lalu turun, sedang mentari bersinar terik. Tubuhnya kotor tercemar percikan gundukan tanah dengan pusara bertulis namanya.

"Ah, namaku pun hampir mirip dengan Luka. Sama-sama berisi empat huruf dengan akhiran "A" Ibu dari sekumpulan abjad." Ujarnya dalam hati, merasa kian akrab dengan para tamu.

Sepulangnya dari tempat berkabung, ia membersihkan diri dengan bermandi air mata. Katanya tak perlu dibasuh sabun sebab ia mencintai kotor di tubuhnya. Tanah yang tadi membalut sekujur tubuhnya dianggap baju yang menutupi aib, juga tiap inci lebam dan memar yang menjalari sepanjang raga paling rapuhnya. Ia benar-benar berkawan dengan luka sejak melakoni banyak peran tentang elegi paling menyayat hati.

Maka biarkan aroma tanah melekat, menjadi tanda bahwa masa depannya adalah tertanam di bilik paling gelap, bawah tanah yang senyap. Tanpa sesiapa pun. Sendiri tanpa kebisingan seperti waktu menjejak di atas tanah. Di sana mungkin tempat istirahat paling nyaman jika ia berhasil mengunpulkan bekal melibihi beratnya ujian kehidupan yang dipikulnya berulang kali.

Bandung, 19 Desember 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death