Satu porsi, sama rata.

Tulisan ini kubuat di awal pekan, sedikit berbeda dari biasanya. Malam itu, aku duduk termenung di meja dengan segelas susu cokelat yang sudah lama mendingin. Waktu ternyata sudah larut, tetapi aku masih saja terjaga. Aku pun memutuskan untuk menulis ini.

Mulutku ber komat-kamit melafalkan seribu macam keluhan karena besok hari Senin, hari Senin hari dimana menjadi permulaan untuk kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Kembali bangun pagi, lalu menyiapkan diri untuk bertemu dan bercengkerama dengan orang ramai. Entah mengapa hal itu terkesan memuakkan, harus ku lakukan dan ku ulang, meskipun aku tak ingin.

Langkah demi langkah aku jamah satu-persatu, menapaki hamparan jalan yang ku tatap masih seperti hari itu. Sepatu kets putih milikku beradu dengan aspal yang pada sisi lainnya sudah ada lubang-lubang kecil. Rusak, karena terlalu lama dilewati oleh banyak kendaraan.

Aku menatap sekeliling yang lagi-lagi sekumpulan manusia itu tengah sibuk dengan dunia mereka sendiri, diantaranya beberapa pertanyaan sederhana muncul dalam pikiranku. Begitu saja secara tiba-tiba.

"Sebenarnya, mereka tengah menghadapi masalah apa yaa?"
"Mereka tidur dengan nyenyak tidak, yaa?"
"Mereka bertahan sejauh ini karena apa, yaa?"
 "Apa yang mereka pikirkan sekarang?"

Lantas, aku tersadar dengan isi kepalaku yang jauh lebih sibuk setiap harinya. Aku pernah terjatuh hanya karena tersandung batu lalu aku menggerutu namun ketika dipikirkan lagi, hal itu sudah lama berlalu. Lalu aku teringat lagi ketika aku merasa tidak senang karena hari senin namun tetap kujalani sampai petang menjemputnya, seketika aku tersadar bahwa ketidaksenangan itu sudah berlalu. Lagi dan lagi ada kalanya waktu memberi tahu bahwa apa yang aku jalani sekarang. Tentang senang, sedih, susah, gundah, begitupun bising. Akan berlalu dan perlahan terlupakan meskipun tak sepenuhnya terhapus dalam memoriku.

Netraku kembali menangkap pedagang cilok keliling yang biasa datang setiap satu minggu sekali, kali ini aku tidak ikut serta dalam antrian yang kulakukan hanyalah memperhatikan seruan anak-anak kecil ataupun ibu-ibu dengan suara lantang meminta agar pesanannya dilayani paling awal. Aku kembali melanjutkan perjalananku untuk pulang sambil mengenang memori dimana diriku pernah menjadi salah satu pelanggan. Hal-hal kecil seperti itu, mampu membuat otakku bekerja cukup banyak. Lalu bernostalgia sambil menari-nari, sebenarnya apa saja yang telah aku alami. Lagi, aku berbicara seperti ini.

Aku merasa hidup orang lain jauh lebih baik dari pada hidupku sendiri, aku merasa seperti itu karena belum cukup dengan diriku. Aku merasa bahwa kesedihan milikku jauh lebih besar dari pada milik orang lain. Perasaan itu terus ku terka-terka sambil kulayani, namun yang ada bukanya membaik diriku malah seperti terbuang karena tak pernah dapet hasil yang pas. Sebab aku tak pernah menyadari dan terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Atas kesalahan-kesalahan yang tak pernah aku akui atas kegagalan tak pernah aku benahi dan atas semua kekeliruan yang harus aku perbaiki.

Hidup hanya sebuah serpihan pembelajaran yang setiap harinya harus ku asah, Sebenarnya apa ya yang salah? Harus melangkah ke arah mana dulu, ya? Kenapa manusia-manusia begitu menyebalkan? Bagaimana caranya bertahan?

Tuhan tidak pernah memberi segala sesuatu dengan porsi yang lebih, tidak pula kurang, semua sama rata. Sama-sama memikul susah sama-sama diberi senang. Apa yang terjadi akan berlalu, waktu tidak diam hanya karena tubuh merasa tak berguna.

Pertanyaanya, bagaimana caranya kamu menunjukan kelebihanmu jika saja kamu tak pernah bangga kepada dirimu sendiri na?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death