Menemukan Titik Tengah; Ukur Diri

Kabar dari sebelah kiri mengatakan, "mengapa di usia sekian belum juga lulus kuliah?" Padahal aku sedang merasa cukup dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Pertanyaan itu membuat kecukupan itu terusik, seolah aku tertinggal sesuatu.

Kabar dari sebelah kanan mengatakan, "mengapa belum mencapai tahapan ini?" Padahal aku sedang merasa cukup dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Pertanyaan itu membuat kecukupan itu terusik, seolah aku tertinggal sesuatu.

Dan pertanyaan lain dari depan, belakang - yang membuat rasa cukup yang sedang ku jalani terusik. Membuatku memikirkan ulang apa yang sedang aku jalani saat ini.

Memaknai perkataan-perkataan orang lain, pada akhirnya aku jadikan kebutuhan tersendiri. Sebab, aku adalah sesosok manusia yang kurang pandai mengukur kemampuan diri sendiri. Aku adalah sesosok manusia yang mudah terusik, dan bahkan bisa saat itu juga berbalik arah jika aku merasa yakin dengan apa yang orang lain ucapkan tentang diriku.

Kedudukan

Dalam berrbagai kesempatan, aku selalu mengambil jeda dalam merespon pertanyaan-pertanyaan di luar sana. Dan dalam berbagai kesempatan juga, aku selalu mengambil respon cepat dalam rangka mempertahankan kedudukan diriku di hadapan orang lain.

Kedudukan seperti apa? Sederhananya agar aku tidak meluapkan respon yang tidak sesuai, seperti; menangis tiba-tiba, marah tiba-tiba dan tertawa tiba-tiba. Semua soal menjaga respon agar tetap sesuai dengan kondisi objektifnya. Menjawab pertanyaan sesuai dengan daftar pertanyaannya. Merasa sesuai dengan kejadiannya.

Kedudukan itu saja yang berusaha aku pertahankan - kedudukan diri yang sesuai dalam merespon keadaan.

    Tujuan:
                Kebahagiaan sejati tak bisa dilepakan dari makrifat - mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam                    diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk diciptakan. Syahwat senang memenuhi                        nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan yang indah, dan                    telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar                 ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalam upaya                            tersebut. - Kimiya al-Sa'adah, Imam al-Ghazali.

Dalam perjalanan memahami; "Mengapa diriku masih mudah terusik oleh pertanyaan-pertanyaan umum yang diucapkan oleh orang lain?" Pada akhirnya memuarakan diriku pada satu maksud: Apakah aku belum memaknai tujuan hidupku dengan baik? Apakah aku belum memantapkan langkahku dalam menetapi tujuan itu?

Pada akhirnya, apa yang terjadi dalam diri kita - yang kita rasakan dan kita pikirkan - adalah sebagai tolak ukur diri ini berada dalam tahapan pemahaman seperti apa. Dan menjadi tolak ukur, apa hal terdalam yang sebenarnya sedang kita rasakan atau hal mendalam apa yang sebenarnya sedang kita pikirkan?

Abaikan

Aku memang sering mengabaikan apa yang diriku rasakan. Sehingga, aku memutuskan untuk tidak memikirkan apapun. Dan terkadang, aku juga sering mengabaikan apa yang bisa aku pikirkan. Sehingga aku memutuskan untuk tidak merasakan apapun.

Manusia perlu memikirkan dan merasakan sesuatu secara tertib. Dalam artian, mereka perlu menyelaraskan apa yang menjadi temuan dalam dirinya. Sehingga, dalam memenuhi hak raga untuk beramal, ia akan memperoleh keseimbangan dan "lagu" langkah yang enak di dengar.

Tidak berat sebelah, antara potensi merasa dan potensi berpikir. Tidak berat sebelah, antara emosi dan akal kecerdasan.

Letak Ruh

                Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat oleh hati,                        kursi oleh otak, dan Lauh Mahfuzh oleh perbendaharaan pikiran. Ruh - yang tak                                    tertempatkan dan tak terbagi - mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagat.                                Pendeknya, kepada kita diamanatkan sebuah kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk                            mengaturnya secara seksama, tidak ceroboh apalagi semena-mena. Imam al-Ghazali

Keseimbangan itu membuatku "waras" kembali. Artinya, aku bisa merasakan bahwa diriku sedang tidak tumpang-tindih satu sama lainnya. Tidak berlebihan dalam berpikir, dan tidak berlebihan dalam merasa. Dan titik kesimbangan itu tercapai, saat peran ruh muncul ke permukaan.

Saat ruh mulai menjalankan tugasnya kembali sebagai rasa dalam diri, yang dapat menyambungkan semuanya dengan kuasa Allah.

Letak ruh harus selalu jadi pemenang - harus selalu menjadi raja. Sebab, dialah refleksi ketuhanan - ketauhidan yang dapat membawa kita pada keseimbangan sejati dalam diri. Jika semua potensi dalam diri telah seimbang, maka itulah diri kita. Dan kemampuan itulah yang akan menunjukan sejauh mana kualitas kedekatan kita dengan Allah.

Sadar

Kesadaran akan kekurangan diri dalam mengukur kemampuan, pada akhirnya adalah soal bagaimana aku harus pandai dalam memahami setiap apa yang aku rasakan. Kemudian aku memikirkan maksudnya. Juga bagaimana aku memikirkan sesuatu dan meraskannya sesuai degan apa yang telah terjadi - objektif.

Terlalu

Aku sering terlalu menarik diri entah itu terlalu ke belakang, ataupun terlalu ke depan. Hingga aku bingung, dimana sebenarnya letak titik tengah diriku, yang ketika melakukan sesuatu tidak merasa dituntut orang lain dan juga tidak memaksa diri. Sehingga berjalan dengan irama lagu yang enak di dengar.

Ternyata, aku sendiri masih kurang tepat dalam menilai tujuan.

Ah, itu saja. Semoga kalian yang membaca mendapatkan sesuatu makna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death