Di Ambang Cahaya Yang Samar

Di ujung jiwa yang membingung.

Ia melangkah tanpa memiliki ragu, diantara kabut harapan, dan bayang-bayang ragu. Langit melukis dirinya pada semburat senja, namun tak satu pun bintang berbisik, tentang arah mana yang tak berisik. Ia terus berjalan, meraba jelek yang samar, bertanya "Dimana tempatku? Dimana titik bakatku? Apakah nyala ini sesungguhnya milikku?"

Ia telah mencoba menjadi banyak hal, menjadi daun yang menari bersama angin, menjadi tinta yang mengalir pada ribuan cerita, dan menjadi nada yang bergetar di antara denting senar. Ia mampu mengetik kata yang menyusun makna, juga menggambar bentuk yang menyerupai nyata. 

Namun semuanya terasa seperti ombak yang hanya mencium pasir sebelums surut kembali. Ia mampu menciptakan, tetapi tak cukup dalam untuk mengakar. Ia bisa, namun tak benar-benar merasuk ke dalam jiwanya.

Orang-orang menatapnya dengan kebanggaan, memujinya sebagai indah, sebagai berbakat.

"Kau luar biasa," mereka berlata, "Kau istimewa." Tetapi di dalam dirinya, ada kehampaan yang tak tersentuh, di dalam dirinya seperti masih ada ruang kosong yang menunggu untuk terisi. Ia bertanya pada bayangan di cermin, "Benarkah aku bercahaya? Ataukah aku hanya ilusi yang mereka harapkan ada?"

Segalanya terasa seperti tak utuh, tak bernyawa. Ia merasa seperti sungai yang mengalir tenang, namun juga tak cukup deras untuk dapat menorehkan kisah pada batu-batu di dasarnya. Ia seperti burung yang kepak sayapnya terdengar indah, tetapi tak pernah benar-benar menembus langit teringgi. Karena, setiap kali ia mencoba lebih dalam, ombak keraguan menghanyutkannya kembali-menarik, mengikat kakinya, pada dasar yang tak dikenali.

Namun, di keheningan yang membisik ia mulai melihat dengan mata baru. Mungkin ia bukan nyala tunggal yang membakar, tetapi bias cahaya yang menyinari banyak wajah.

Mungkin ia bukan puncak tertinggi yang megah, tetapi bukit-bukit kecil yang merangkul keindahan di sepanjang perjalanan. 

Mungkin ia bukan badai yang mengguncang, tetapi angin lembut yang membelai dan mengubah sesuatu dengan cara yang taak dapat disebut.

Dan mungkin, ia adalah fajar yang bersinar tak terlalu terang, tapi cukup untuk menerangi mereka yang masih dalam gelap.

Dan akhirnya tersenyum. Ia memahami bahwa tak semua takdir dituliskan untuk menjadi gunung yang menjulang. Ada yang diciptakan menjadi senja, lembut, samar, namun tetap menghangatkan dunia dengan caranya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sebab Tuhan adalah perancang terbaik

Rak Sepatu yang Sama

'diriku'