A Hug I Owe Myself
Tatapanya redup, senyumannya samar. Aku berhutang maaf pada sosok di cermin yang selalu menunggu untuk kupeluk kembali.
Di sana, dibalik pantulan bening itu ia berdiri diam dan tak bersuara namun memikul beban yang tak terlihat. Matanya temaram seperti langit senja yang kehilangan warna. Bibirnya melengkung, tapi bukan karena bahagia. Itu hanya topeng, seutas senyum yang ia kenakan agar dunia tak sibuk bertanya.
Sosok itu menatapku tanpa kata, seolah ingin bicara namun aku terlalu pengecut untuk mendengarnya. Aku tahu, aku selalu tahu. Bahwa ia telah lama menungguku, menunggu aku kembali padanya, menunggu aku berhenti menjadikannya sekadar bayangan tanpa nama.
Betapa sering aku melewatinya tanpa sapa, tanpa peduli.
Berapa kali aku berpura-pura tidak melihat kesedihannya.
Aku menuntutnya untuk kuat, padahal ia hanya ingin beristirahat.
Aku memaksannya bertahan, padahal ia hanya ingin menangis.
Aku menjadikannya asing, padahal ia adalah rumah yang seharusnya kutempati.
Aku melihat bibirnya melengkung tipis, senyum yang tak pernah benar-benar sampai ke hati. Ia terbiasa pura-pura, terbiasa menelan keluhnya sendiri, terbiasa menjadi kuat ketika dunia menginginkannya begitu. Aku ingin berkata "Tidak apa-apa untuk rapuh" tapi lidahku kelu, suaraku tersangkut di tengorokan yang sudah terbiasa membungkam perasaan.
Sungguh, aku berhutang maaf padamu.
Pada matanya yang telah lama menangis dalam diam, pada langkahnya yang sering tertatih tanpa genggam, pada suaranya yang terus kupaksa bungkam demi dunia yang tak ingin mendengar, dan pada hati yang kupaksa untuk tetap berdetak. Aku berutang ribuan kata yang tak pernah kuucapkan, ribuan pelukan yang tak pernah kujatuhkan.
Hari ini, aku tak ingin lagi berpaling. Aku ingin menyentuh cermin itu dan berkata, "Aku melihatmu, aku mendengarmu, aku menerimamu." Aku ingin berkata, "Maaf" lalu mengulanginya hingga ia percaya. Aku ingin merengkuhnya dalam dekap yang tak lagi penuh kebohongan.
Sebab ia bukan sekedar pantulan. Ia adalah aku-aku yang telah lama menunggu untuk kupulangkan ke dalam dekapku sendiri. Dan, sebelum dunia bisa menerimaku, aku harus terlebih dahulu merangkul diriku.
Komentar
Posting Komentar