Tawa Terakhir Kita, Kini Menggema di Kepalaku
Dan kemarin, kita tertawa tanpa terpikir akan berakhir kecewa.
Kemarin, kau menggenggam tanganku seolah dunia tak akan berani merobek kita. Tatapanmu bilang, "aku akan tinggal," dan bodohnya aku percaya tanpa bertanya: "sampai kapan?"
Kemarin langit mendung pun tak sangar-terlihat lebih biru dari biasanya. Dan kita, dibawahnya menenun kisah antara tawa dan detak jantung yang saling berpacu.
Kita duduk berdua, menyusun mimpi di bawah senja seperti anak-anak yang menggambar rumah dan matahari dengan krayon kesayangan.
Kau bilang hidup adalah perjalanan dan aku percaya selama kita melangkah pada dendang yang seirama, segala lelah akan berubah menjadi nyanyian. Kala itu, aku adalah matahari pagimu, yang kau sambut dengan senyum separuh mali dan kau adalah kopi pahit yang kuminum tanpa ragu, meski sesekali getirnya merubah suasana hatiku.
Kita pernah begitu dekat, hingga jarak antara napas dan bisikan terasa kekal-walau pada nyatanya memang tak masuk akal. Namun siapa sangka tawa yang kemarin tumbuh subur di ladang dada, kini berubah menjadi sunyi yang kering tak bermakna.
Aku pikir kau rumah, tempat segala resah juga gelisah bisa duduk dan diredakan. Ternyata kau hanya persinggahan, hanya saja dengan versi sedikit lama-yang efek sampingnya, membuatku lupa bagaimana rasanya sendiri.
Kemarin, kita tertawa tanpa sadar bahwa waktu sedang mencatatnya untuk kemudian dijadikan kenangan yang paling menyakitkan.
Tawa kita kini tinggal gema, yang kadang muncul di sela-sela tidur, menyelinap ke dalam mimpi, hanya untuk membuatku bangun dalam perasaan sepi. Dan, jika waktu bisa kutarik mundur, aku tidak akan memilih untuk tidak mencintaimu. Aku hanya akan memilih untuk tidak percaya bahwa kau akan tinggal.
Siapa kita? Kita seperti langit dan senja: bertemu setiap hari, namun tetap berakhir gelap.
Setiap tawa kita dulu kini terdengar seperti ledekan. Betapa lucunya kita percaya pada "selamanya" kadang hanya sebatas tanggal kadaluarsa yang tak tertulis di awal.
Kau berlalu seperti hujan yang lelah jatuh, dan aku-aku masih di sini, menjemur kenangan di bawah matahari rindu yang tak kunjung reda.
Ada yang tak selesai di antara kita, bukan karena tak bisa, tapi karena semesta memilih jalan yang tak kita pinta. Seperti lilin yang padam tanpa pamit, begitu saja kau menghilang, meninggalkan abu dari janji-janji yang dulu menghangatkan malam.
Kini, bila kita bertemu di persimpangan waktu, mungkin hanya tatapan yang saling mengenang, tanpa kata, tanpa peluk, hanya bisu yang berkata "Aku pernah di sana, di hatimu yang kini detaknya telah asing di telingaku."
Dan aku, masih menyimpan sisa tawamu dalam kenangan yang kubungkus rapi, meski kau tak lagi kembali. Sampai hari ini, aku masih menyisakan ruang kosong untukmu, di antara tumpukan doa yang tak pernah berani aku panjatkan lagi. Karena aku tahu, Tuhan sudah menuliskanmu di takdir orang lain.
Komentar
Posting Komentar