Dunia = Bengis
Dunia; Selain bengis,ia juga tak peduli pada banyaknya tangis.
Padahal, sudah sadar ditipu, namun tak ada satupun ada yang ingin berteduh.
Di matanya, tangis bukanlah permohonan, melainkan hanya gerimis yang besok kian mengering.
Sekalipun air mata kami mencipta danau berisi ribuan dendam, ia bisa meminumnya rakus bagai jiwa yang semasa hidunya menghirup angin musim kekeringan.
Dunia mengajarkan kita tentang pahit, padahal kita belum sempat mengeja manis. Ia mencambuk dada yang menyimpan harap terlalu tinggi, lalu berjalan pergi, tanpa menoleh, tanpa pamit.
Berapa banyak yang telah bersujud dalam diam, memohon setidaknya sedikit saja jeda dari luka?
Berapa banyak tangan yang meraba dalam gelap, berharap setitik terang menyapa?
Namun dunia, dengan wajah tenangnya, malah menertawakan peluh dan air mata.
Kita tersenyum bukan karena bahagia, melainkan karena tangis tak lagi muat di dada. Benar, kita masih berjalan, namun pada diam yang bahkan bahan pun tak menyapa, bukankah kita telah mati?
Dan saat berhadapan dengan si cermin yang jujur, bukankah kita tak lagi utuh? Adakah kau melihat tubuh yang sibuk menyusun kembali bagian-bagian yang telah jatuh, agar kembali terlihat rapih?
Di dunia ini kamu bisa;
Kamu bisa berdarah setengah mati dan tetap diminta tersenyum. Kamu bisa hancur berkeping dan tetap disuruh bersyukur. Namun, yang paling menyesakkan adalah sebab dunia tak pernah menanyakan "apa kau sanggup?", ia hanya menyuruhmu terus, bahkan di saat matamu tak lagi tahu mana yang lurus.
Ia akan tetap memutar siang dan malam, tak peduli seberapa banyak kau meminta pagi tak datang lagi. Ia terus menggilas tubuhmu yang ringkih, menghapus jejak air mata secepat debu yang dihembus angin.
Kadang aku bertanya, apakah ia tak pernah tergerak melihat jiwa-jiwa runtuh tanpa suara?
Tapi, barangkali memang begitulah adanya. Dunia bukan mamah yang selalu mengayun kita dalam peluk. Barangkali ia adalah batu dingin yang terkutuk, yang hanya diberi diam, dan menahan beban dari manusia yang bakatnya menabur noda di tubuhnya.
Mungkin, pada detik dimana semua mata terlelap. Dunia juga merasa bersalah akan banyaknya luka yang belum bisa ia sembuhkan. Barangkali ia terlalu penuh, menampung tangis dari miliaran jiwa yang semua ingin dimengerti.
Dan pada akhirnya, dunia menang. Bukan karena ia lebih kuat, tapi karena ia tahu, kita akan tetap tinggal meski dalam hati yang sudah lama tidak bernyawa.
Komentar
Posting Komentar