Pelajaran Dari Tawa Kecil
Hari ini, langkah kakiku membawaku ke sebuah tempat yang sederhana sebuah panti asuhan yang dihuni oleh tawa-tawa kecil dan mata-mata yang penuh rasa ingin tahu. Aku tidak datang dengan misi besar, hanya ingin bermain dan berbagi waktu bersama mereka, adik-adik yang menyambut hangat tanpa tanya siapa aku dan dari mana asalku.
Di tengah keceriaan yang mereka ciptakan, ada sesuatu yang diam-diam menyentuh hatiku. Bukan karena cerita hidup mereka, bukan pula karena latar belakang mereka. Tapi karena cara mereka menjalani hari dengan ringan, dengan tawa yang lepas, dan dengan sikap menerima yang tampak alami. Dari sana aku mulai belajar lagi bahwa hidup ini tak selalu harus sempurna untuk bisa disyukuri.
Aku sadar, kadang kita terlalu sibuk mengejar “lebih.” Lebih dari yang orang lain punya. Lebih dari yang kemarin kita miliki. Dan tanpa sadar, kita lupa bahwa yang “sudah ada” pun sebetulnya layak dirayakan. Kita lupa bahwa bisa membuka mata di pagi hari, bisa bernapas tanpa alat bantu, bisa makan walau seadanya, bisa tertawa semuanya adalah nikmat yang besar.
Adik-adik di panti hari ini tidak menjadi standar syukurku. Aku tidak ingin menjadikan kisah mereka sebagai perbandingan untuk hidupku. Tapi pertemuan dengan mereka adalah pengingat. Pengingat bahwa bahagia itu tidak selalu datang dari hal besar, dari handphone baru, dari jabatan tinggi, atau dari pencapaian yang dikagumi banyak orang. Terkadang, bahagia itu datang dari bermain bersama, dari saling menggenggam tangan, dari merasa hadir dan dihargai, sekecil apapun bentuknya.
Mereka mengajarkanku hari ini, bukan dengan kata-kata, tapi dengan sikap mereka. Sikap yang menerima dan tetap bersemangat menjalani hidup. Dari merekalah aku diingatkan bahwa bersyukur bukan soal membandingkan. Bukan tentang siapa yang lebih kurang, siapa yang lebih cukup. Tapi soal mengenali bahwa setiap yang kita punya, sekecil apapun, adalah sesuatu yang patut disyukuri.
Seringkali kita menengadah ke langit, terus menatap ke atas, menilai hidup hanya dari pencapaian dan ukuran materi. Padahal, sesekali kita perlu menunduk, bukan untuk merendah, tapi untuk menyadari bahwa bumi tempat kita berpijak ini pun penuh dengan hal-hal yang pantas disyukuri.
Hari ini, aku tidak hanya pulang dengan hati yang penuh, tapi juga dengan pandangan yang diperbarui. Bahwa menjadi manusia itu bukan hanya soal berlari, tapi juga soal berhenti sejenak, menengok sekitar, dan berterima kasih. Karena ternyata, syukur itu bukan hanya ucapan di bibir ia adalah kesadaran untuk hidup dengan hati yang lapang.
Komentar
Posting Komentar