Kursi Empuk, Rakyat Lempuk

Tulisan ini lahir karena gue muak. Muak melihat orang-orang yang katanya “wakil rakyat,”
padahal kelakuannya lebih mirip wakil tuhan untuk dirinya sendiri.
Mereka mestinya jadi corong jeritan, tapi telinga mereka ditutup rapat bukan pakai penutup kuping, tapi pakai tumpukan amplop.

Mereka lupa, kursi empuk yang mereka duduki itu bukan hasil keringat sendiri.
Itu kursi sewaan, dibayar pakai keringat rakyat yang tiap hari jungkir balik cari makan. Bedanya, rakyat duduk di bangku warteg, sementara mereka leha-leha di singgasana ber-AC, sibuk pura-pura serius sambil ngantuk.

“Wakil rakyat”? Lucu. Yang mereka wakili cuma isi perut sendiri, dan kalau masih ada sisa ruang, ya buat kepentingan kolega elitnya.

Lo pernah nggak sih kepikiran: kalau DPR itu bener-bener wakil rakyat, kenapa rakyatnya makin sengsara, tapi mereka makin sejahtera? Jangan-jangan kita salah kaprah soal istilah “wakil rakyat.” Mungkin maksudnya “wakil rakyat di mimpi rakyat,” karena di kenyataan, mereka lebih mirip wakil investor, wakil konglomerat, atau wakil kepentingan partai.

Kursi empuk yang mereka dudukin itu dibeli dari keringat rakyat. Dari pajak tukang parkir, keringat buruh pabrik, hasil tani yang dijual murah. Tapi apa balasannya? Rakyat dapet aturan aneh-aneh, dapet drama sidang kosong, dapet tontonan anggota DPR ketiduran di ruangan ber-AC. Kalau rakyat bisa pilih, mungkin lebih baik kursi DPR itu dikasih ke tukang angkringan. Minimal, kalau angkringan yang rapat, hasilnya jelas: perut rakyat kenyang.

Ironisnya, rakyat tiap hari bangun pagi dengan beban hidup: mikirin kos, mikirin bayar sekolah anak, mikirin harga beras. Tapi anggota DPR bangun pagi mikirin: “Hari ini fasilitas baru apa ya yang bisa saya minta?” Bedanya udah kayak bumi sama Pluto.

Lalu datanglah kalimat legendaris: “Bubarin DPR.”
Ini udah kayak mantra sosial. Disebut di tongkrongan mahasiswa, di obrolan ojol, bahkan di grup WA keluarga. Saking seringnya, kalimat ini udah kayak “salam pembuka” kalau ngomongin politik. Kenapa? Karena DPR sudah berhasil mencapai prestasi tertinggi: bikin rakyat kehilangan rasa hormat.

Dulu, orang masih mikir DPR itu institusi mulia, pilar demokrasi. Sekarang? Paling banter dianggap stand-up comedy tanpa punchline. Mereka ngomong panjang lebar di sidang, tapi rakyat cuma dengar “bla bla bla uang rakyat bla bla bla fasilitas bla bla bla cuti ke luar negeri.”

Kalau ada yang bilang DPR itu “wakil rakyat,” gue pengen nanya: rakyat yang mana?

  • Rakyat kecil? Enggak

  • Buruh UMR? Boro-boro.

  • Petani? Sawah mereka udah habis buat proyek.

  • Mahasiswa? Mereka lebih sering kena gas air mata daripada dibela.

Yang paling sering mereka wakili justru segelintir orang: elit partai, pemodal, dan pengusaha yang bisa main belakang. Jadi jangan salah kaprah: DPR itu bukan wakil rakyat. DPR itu wakil kepentingan. Titik.

Dan keresahan rakyat ini udah kayak bara dalam sekam. Setiap kali DPR ngeluarin kebijakan ngawur, itu kayak bensin yang disiram ke api. Lama-lama, rakyat bukan cuma ngomel, tapi sadar kalau mereka semua ngalamin hal yang sama. Buruh kesel, mahasiswa marah, emak-emak ngamuk di pasar, ojol frustasi. Kalau ini nyatu, jangan heran besok-besok jalanan bisa jadi panggung revolusi.

Masalahnya, rakyat di Indonesia sering pecah. Demo mahasiswa di sini, buruh di sana, ojol di tempat lain. Elit politik tinggal kasih isu baru, langsung bubar konsentrasi. Rakyat sibuk debat receh di medsos, sementara DPR sibuk ngitung tunjangan.

Makanya kunci perubahan itu satu: konsolidasi. Rakyat harus nyatu. Jangan kebanyakan tuntutan, fokus satu suara:
“DPR bubar, rakyat ambil alih.”

Bayangin kalau mahasiswa, buruh, petani, guru honorer, ojol, dan emak-emak pasar turun bareng. Itu bukan demo lagi, tapi gelombang rakyat. Dan gelombang rakyat nggak bisa dihadang aparat, nggak bisa dipelintir media.

Sekarang udah era digital. Konsolidasi bisa lewat medsos, platform terenkripsi, thread panjang, meme sarkas. Tapi jangan cuma online doang. Revolusi nggak lahir dari trending topic. Revolusi lahir dari tubuh nyata yang berdiri di jalan, dari massa yang nggak bisa lagi diabaikan.

Nah, setelah nyatu, masuk tahap mobilisasi. Jangan cuma turun ke jalan asal-asalan. Harus ada strategi, ada simbol. Misalnya, semua peserta aksi pake pita hitam tanda duka demokrasi, atau bendera putih tanda rakyat udah “nyerah” sama DPR. Kalau demo serentak di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Jogja, aparat pasti kewalahan. Media pun nggak bisa bilang ini “demo mahasiswa doang.”

Dan kalau udah gede, tekanan makin kuat. DPR bakal terkepung dari segala sisi:

  1. Boikot Pajak: “Kenapa harus bayar pajak kalau wakil kita ngaco?”

  2. Mosi Tidak Percaya: akademisi, tokoh agama, organisasi rakyat turun tangan.

  3. Sorotan Internasional: dunia tahu kalau DPR nggak lagi representatif.

Di sini DPR nggak cuma kepepet, tapi juga dipermalukan di panggung global.

Tapi inget, revolusi nggak boleh cuma teriak “bubar.” Harus ada pengganti. Kalau nggak, rakyat cuma ganti satu lelucon dengan lelucon lain. Alternatifnya banyak:

  • Parlemen Digital berbasis Blockchain: transparan, nggak bisa dimanipulasi.

  • Majelis Rakyat Acak (Sortition): wakil dipilih random, bukan lewat partai.

  • Dewan Pakar + Rakyat: biar kebijakan nggak ngawur.

  • Referendum Berkala: rakyat punya suara langsung, bukan cuma lewat sidang AC.

Dengan alternatif ini, rakyat bisa bilang: “Kita nggak cuma mau bubarin DPR. Kita siap bikin sistem baru yang lebih adil.”

Pada akhirnya, DPR punya dua pilihan: bertahan sampe hancur, atau kompromi. Kalau rakyat udah kuat, kompromi itu tinggal nunggu waktu. Sejarah baru bisa lahir: Indonesia masuk babak demokrasi yang beneran milik rakyat, bukan milik segelintir elit.

Dan inget,: ini semua bukan cuma soal DPR. Ini soal harga diri bangsa. Selama ini kita disuruh puas dengan demokrasi lima menit di bilik suara, lalu lima tahun suara kita dibungkam. Tapi sekarang, rakyat udah sadar. Kita muak jadi penonton politik murahan.

Revolusi itu bukan sekadar teriak. Revolusi itu nulis ulang sejarah. Dan sejarah lagi nunggu kita. Pertanyaannya: kita mau terus jadi penonton, atau ikut turun panggung bikin bab baru: Indonesia tanpa DPR, Indonesia milik rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sebab Tuhan adalah perancang terbaik

Rak Sepatu yang Sama

'diriku'