Pakaian Kenangan
Terkadang, sembuh itu bukan tentang menghapus bekas luka di cermin, tapi belajar menatap bayangan diri tanpa menghindar lagi.
Terkadang, sembuh itu bukan tentang menjahit robekan lama tapi belajar mengenakan pakaian yang sama dengan luka yang masih terlihat.
Ada duka yang tak bisa dijahit, karena benangnya putus sebelum sempat digenggam. Ada luka yang tak bisa di lap, karena ia menetes dari dalm bukan dari kulit, melainkan dari sesuatu yang tak bernama, yang berdenyut di antara napas dan ingatan.
Kita berpakaian dari kenangan, kita mengenakan hari-hari yang pernah membelah dada. Bukan untuk mengundang simpati, bukan pula demi terlihat tabah tapi karena tak ada pilihan selain berdamai dengan perih yang tak kunjung pergi.
Terkadang, sembuh itu bukan tentang menghapus hujan yang turun, tapi belajar berjalan sambil tetap basah olehnya.
Ada hujan yang tak berniat reda, Ia tak turun perlahan, jatuhnya seperti hentakan kaki penuh emosi membasahi ingatan yang seharusnya sudah usang. Tapi siapa yang bisa menyuruh langit berhenti menangis?
Orang-orang berkata; 'bertedulah.' Tapi mereka tak tahu kadang tak ada atap untuk luka-luka yang tak bernama. "basalah engkau, hingga jiwamu lembab, hingga bibirmu membiru." Ucapku menatap diri pada genangan jernih itu.
Biar di bawah langit yang kelabu, aku tak murung lagi sembari meminta reda. Biar telinga penuh dengan jeritan gemuruh, asal bukan sumpah serapah yang bernyawa. Dan biar jemari berkerut, setidaknya bukanberdarah sebab mengenggam pisau yang entah dari siapa saja.
Dan bisakah itu semua bentuk paling jujur dari keberanian?
Bukan yang menampilkan perban rapih, melainkan yang membiarkan bekasnya terlihat, menganga, namun tetap berjalan, karena hidup terus bergerak meski jiwa memohon ampun, meski tubuh menggigil seribu tahun.
Barangkali hangat sudah jarang, tariklah selimutmu, sembunyilah dari mata dunia untuk beberapa waktu. Barangkali senyum terasa canggung, angkatlah kepalamu, lihat bulan dan bintang yang menunggu.
Dan dari beberapa hal ini lah sembuh itu tumbuh. Bukan dari reda, melainkan dari keberanian untuk tetap hidup di bawah langit yang terus menangis.
Komentar
Posting Komentar