yang tertahan

Jangan ukur aku dari sunyiku.
Sebab, aku pun tahu cara marah. Hanya saja, aku tak memilihnya.
Simpanlah, kau marah hanya untuk membuang energi dengan sia-sia.

Lucu, betapa dunia selalu memberi panggung bagi mereka yang pandai membentak, seakan nada tinggi lebih jujur daripada diam yang menahan gemuruh.
Kau marah, kau kecewa, kau lemparkan segala rasa seperti dunia wajib memaklumi segala bentuk detaknya. Padahal, semua hal yang berdiri di bumi ini, memang berpotensi mengecewakan, bukan?

Padahal, sebenarnya aku pun bisa saja;

Aku bisa tahu bagaimana cara hujan mengguyur hingga gentingmu lapuk oleh dendam, aku bisa saja menyobek sunyiku dan menuliskannya dengan tinta amarah-tapi, sungai-sungai dalam tubuhku lebih memilih mengalir daripada meluap.
Sebab, aku pernah menenggak pahitnya bara dan tak kutemukan segar di sana. Aku pernah memberi makan amarah, tapi tak kutemukan kenyang di sana. Aku menyimpan gempa, aku menahan letusan yang tak kau duga.

Lucu sekali;

Kau mengira karena aku tak membalas, maka aku tak mengerti cara membentur balik. Kau mengira karena aku tak menangis keras-keras, maka luka di dadaku hanya kabar angin yang tak nyata.
Sungguh, aku bukan tak bisa. Aku pun ingin menyusun nyala dari bara yang aku punya, namun aku lebih dulu luluh oleh gemetar di tanganku sendiri.

Dan, betapa hebatnya aturan dunia ini

Yang marah, dimaklumi. Yang melukai, dimaafkan. Sementara ada seonggok jiwa yang berushaa mati-matian nyala apinya sendiri, padahal napasnya hanya tersisa untuk satu hari.
Kalian lupa aku bukan karung yang ditugaskan menampung semua amarah kalian lalu ditutup rapi tanpa boleh terlihat sisanya. Betapa inginnya aku ikut berlomba dalam kompetisi ego tertinggi, namun aku tahu, aku akan mematahkan milikku, walau sudah hampir sampai di garis finish.

Tapi aku tak memilihnya. Karena jika aku marah, aku takut tak ada lagi yang bisa diselamatkan, termasuk diriku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sebab Tuhan adalah perancang terbaik

Rak Sepatu yang Sama

'diriku'