Sawang Sinawang

Tentang apa yang memandang dan apa yang dipandang.

Hari ini aku bersua dengan sahabatku. Kami tidak sering bertemu sejak kelulusan masa putih abu-abu itu. Barangkali dalam satu tahun sekali dua kali bertemu karena kesibukan yang saling berseberangan. Mentok-mentok hanya bertukar kabar lewat kolom pesan dan saling berkirim doa supaya segala urusan kami dimudahkan semuanya.

Dulu, waktu umur kami masih tujuh belas, kami selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya jadi perempuan dewasa? Bagaimana rasanya jadi manusia umur dua puluh dua tahun yang konon adalah salah satu titik krisis umat manusia? Buku-buku kami baca, hampir semuanya sebagai bekal bersiap jadi dewasa. Tapi ternyata, yang terjadi nggak semudah bagaimana kami membaca di usia remaja dulu. Buku Andrea Hirata, Tere Liye, juga buku lain yang kami koleksi kala remaja kalau bisa berbicara-mungkin mereka akan bilang, "Itu, maksudku. Bagaimana rasanya jadi dewasa? Susah, kan?"

Kepala dan hati dipenuhi khawatir dan takut kecewa. Benar ngga sih jalan yang kuambil? Mau aku bawa ke mana ya hidupku setelah ini? Aku kenapa di sini-sini aja, ya? Kok orang lain bisa sekeren itu, ya? Pertanyaan itu kami utarakan berdua. Sampai akhirnya kami punya konklusi, "urip iku wang sinawang". Kalau di artikan, hidup itu sebenarnya memang tentang memandang dan dipandang. Siklus paten yang tidak ada habisnya.

Apa yang kita lihat dari hidup orang lain, barangkali memang hanya bagian yang mereka sajikan untuk jadu konsumsi orang lain. Ibarat kita beli kue di toko roti yang dipajang di etalase paling depan jelas kue yang paling enak dan tampilanya menggugah selera. Kita ngga tahu berapa lama proses kue itu dibuat sampai bisa ada di sana di dalam etalase-berapa kali trial and error sampai ketemu resep yang paling pas. Berapa kali rotinya bantat sampai akhirnya jadi empuk. Yang kita tahu, kue itu cantik dan enak. Sudah sampai situ saja.

Jadi dewasa memang ngga pernah mudah, semua orang tahu itu. Tapi semua ada masa dan fasenya. Mutlak. Yang bisa menolong cuma 3S ;Sholat, Sabar, dan Syukur. Makin kesini, aku makin sadar kalau ngga ada satu hal pun di dunia ini yang benar milikku dan punya kuasaku. Bayangan saja hilang saat gelap datang. Asal ngga berhenti, patah boleh, tapi harus utuh lagi. Jatuh boleh, tapi harus bangun lagi, menyerah noleh tapi harus berani coba lagi.

Selamat bertumbuh! Semoga Tuhan titipkan banyak mudah di jalan, jalan-jalan panjang kita setelah ini! Untukku, untukmu, juga untuk siapapun yang ada takut, takut-takut kalau didepan cuma ada jalan buntu. Peluk jauh lewat kata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Rayakan

Selamat Merayakan Cinta Sepanjang Usia Yang Kita Punya

preparation for death