I Used To Be A Dreamer
Aku dipaksa berkelana
Seperti yang diminta dunia, aku berkelana kesana-kemari mencari arti diri. Konon, menyentuh dewasa adalah kewajiban bagi setiap anak manusia. Tapi bukan untuk jenis manusia sepertiku.
Atau aku bukan manusia?
Kalau boleh, aku ingin meramu mimpi. Setiap hari. Tapi apa boleh buat jika "dewasa" makin mendekati ujung-ujung rok tutuku. Makan es krim dan kerja lembur tentunya dua hal yang berbeda. Kata mereka yang pertama terlalu kekanakkanakan. Namun aku lebih senang menyebutnya "hidup".
Seluruh manusia di muka bumi bernapas, namun hanya beberapa yang diberi "hidup".
Dahulu aku adalah seorang pemimpi. Makan donat sepuluh kali sehari pernah kujadikan cita-cita. Lucu memang. Impian sederhana yang kadang bisa kita susun ketika hidup masih hanya soal bosan tidur siang.
Nana tidak boleh ini, nana tidak boleh itu, nana harus begini, nana harus begitu. Pernah jadi kata-kata paling memuakkan seisi duniaku. Pikirku hidup terkekang itu menyebalkan. Aku salah. Hidup tanpa aturan adalah neraka.
Ingatan itu masih betah hidup berlama-lama di kepalaku. Yang kuingat, aku pernah cukup percaya diri untuk bermimpi ini itu. Tidak peduli bahwa dunia nyata yang kupijaki saat ini ternyata penuh manusia berambisi dengan persaingan yang bisa bikin kita mati.
Aku lelah. Mimpi bukan lagi sesuatu yang dicari ketika uang jadi satu-satunya bukti bahwa kita ini seorang ahli. Tidak punya uang, jangan sudi untuk bermimpi.
Hasrat untuk berdiri tegap di masa depan kian pudar.
Sore itu aku sudah sebelas dua belas dengan Bruno-doberman milik tetanggaku yang salah satu kakinya harus diamputasi. Murung tidak ada gairah, doyan melamun, dan hobi marah-marah. Aku sudah persis Bruno.
Masih terngiang di telingaku perkataan bibi penjaual soto yang menceritakan keberhasilan anaknya dengan mata berbinar. Anaknya lebih tua setahun dariku dan kemaein malam baru saja diterima program magister di universitas bergengsi di negeri ini. Universitas yang agaknya hanya akan bisa kujadikan tempat berfoto karena nilai matematikaku tidak jauh berbeda dengan ukuran sepatuku. Aku hanya tersenyum mengucap selamat pada si bibi penjual soto walaupun kutahu, malamnya akan jadi malam paling panjang penuh tangisan dan rutukan.
Banyak hal-hal yang memburuk akhir-akhir ini, mulai dari kesehataan sampai cuaca. Hidup minim motivasi, otakmulai tak pantas dikunjungi prestasi, kepala dan dan tumpukan deadline kerjaan jadi satu-satunya yang terisi penuh.
Aku dibiarkan kebingungan di sini tanpa ada yang pernah memberitahu bahwa transisi kehidupan bisa semenyakitkan ini, bahwa aku bisa kehilangan segalanya dalam sepersekian detik saja. Kosong dan sunyi bukan lagi menjadi yang terburuk, karena bagian paling menyedihkan dari ini semua adalah keharusan untuk mengambil keputusan.
Berulang kali dihadapkan pada kebingungan, seolah memang begitu keadaan yang paling normal. Hari demi hari tidak jauh dari pemikiran tentang pilihan dan konsekuensi, menyelamatkan perasaan orang-orang padahal milik sendiri hancur berantakan, menyesuaikan diri dengan lingkungan walau karakter pribadi harus tersingkirkan, berkompetisi dengan orang yang garis mulainya jauh lebih di depan, dan harus berurusan dengan ucapan-ucapan menyebalkan.
Ya habisnya mau gimana lagi? Dunia maunya aku jadi manusia yang begini.
Percaya atau tidak percaya. Aku pernah menjadi seorang pemimpi. Namun sekarang sudah tidak lagi. Aku ngerasa mimpi cuma bikin aku semakin merasa terbelakang dalam hidup. Apalagi kalau banyak orang mendapatkan mimpi, tapi bukan aku orangnya.
Aku sudah bukan seorang pemimpi. Aku hanya manusia yang menjalankan rutinitas menontonnya, menjalai kewajiban yang entah tujuannya untuk apa. Karena hidup sudah tidak se-linear seperti sebelum-sebelumnya.
Dahulu kerjaku adalah mengikuti arahan dan menjauhi apa yang dilarang. Namun sekarang tugasku adalah membuatnya sendiri. Rasa-rasanya lebih sulit ketola hidup telah menjadi soal menentukan besok harus apa dan setahun kemudian harus bagaimana.
Persis seperti bayi yang kehilangan genggaman orang tuanya ketika sudah mulai bisa berjalan. Tidak tahu harus kemana, yang penting berjalan.
Beruntung jika langkah-langkahku mengalir tanpa celah tetapi siapa yang bisa menebak kapan kakiku akan goyah, tersandung bayang-bayang ragu, atau bertabrakan dengan kenyataan yang tak terduga?
Aku ingin menjadi pemimpi lagi.
Semoga Tuhan menyetujui.
Komentar
Posting Komentar