When Life Gives You Tangerines
Dunia memberi derita dimana-mana, namun juga berteriak "kau tak boleh mati" pada waktu yang sama.
Dunia, ibarat pelukis mabuk yang tak sengaja menumpahkan luka di kanvas hidupku. Warnanya, abu-abu yang meraung, biru yang menggigil, dan merah yang bukan cinta melainkan darah yang terlalu sering keluar tanpa alasan.
Dunia, sejak awal bukan rumah yang penuh pangkuan, melainkan lorong dingin dengan suara-suara yang tak bertuan-tanpa bentuk, tanpa wajah, hanya denting luka yang tak kenal duka.
Setiap sudut hari adalah taring, tiap langkah, jebakan. Dan tiap detak adalah sekeras-kerasnya bentak.
Ia menyuapi pagi-pagi dengan hampa, menuangkan kesunyian ke dalam cangkir, lalu memaksaku menyesap perlahan sambil tersenyum palsu pada embun yang menitik di ujung jemari. Lantai pun sudah bosan mendengar kakiku menyeret harap, dan langit? Ia hanya menatap, tak pernah menangkap.
Dunia-bukan mamah, bukan sahabat, hanya semesta tua yang kadang tersenyum, tapi lebih sering mencibir.
Di sela derita yang menjalar seperti akar dalam tanah lembab, ada jeritan-bukan dari mulutku, tapi dari semesta yang bersikukuh; "Kau tak boleh mati." Ia tidak membisik lembut, ia meraung, meraung, meraung seperti badai yang justru datang dari dalam dada. Pikirku ia tidak tahu malu. Sudah menghantam habis-habisan, masih sempat pula mengatur.
Tapi ya, begitulah dunia penyair yang menulis dengan tinta air mata, tapi membacakan puisinya dengan suara petir. Ia memberiku malam yang panjang dan tak berselimut, lalu memaksa mata ini terbuka saat fajar.
Aku mencintai dan membenci pada waktu yang sama.
Aku ingin pergi dan bertahan pada detik yang serupa.
Tubuhku adalah ladang perang antara keputusasaan dan gema yang memaksa bernapas.
Tangan-tangan tak kasat mata menarikku kembali, setiap kali aku nyaris menjadi kabut. Mereka tidak ramah, tidak lembut, mereka mencengkeram dengan paksa seperti akar yang menolak pohonnya tumbang. "Belum saatnya," katanya seakan waktu adalah penjaga yang cemburu pada keinginanku untuk diam selama-lamanya.
Lalu aku bertanya, mengapa hidup mencambuk namun juga menahan? Mengapa dunia menggores pipi lalu meniup lembut seperti tak bersalah? Dan mengapa, malam-malam yang menggigil itu selalu berakhir dengan sambutan pagi yang terang?
Namun mungkin, aku adalah surat yang ditulis dunia dengan tangan yang gemetar-penuh coretan, namun tak boleh juga dibakar.
Maka aku hidup bukan karena ingin, tapi karena dunia terus memukul dan memeluk dalam satu waktu., seperti cinta yang tidak tahu caranya menyentuh tanpa menyakiti.
Dan, aku diam. Berjalan lagi meski dengan napas terseret. Karena dunia, dengan segala kejam dan cintanya yang aneh.
Komentar
Posting Komentar