Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Doa tentang Keberanian

Aku harap aku mempunyai keberanian untuk meninggalkan sesuatu yang sudah harus berakhir. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk melihat "sesuatu yang berakhir" sebagai sebuah batu loncatan yang akan membawaku pada perubahan baik. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk membiarkan cinta yang baru dan kesempatan lain yang akan datang, masuk dan mengalir ke dalam hidupku seperti hujan. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk tidak menahan, mengenggam terlalu erat, memohon bahkan sampai mengemis pada seseorang atau keadaan agar tidak terjadi sebagaimana takdir yang sudah Tuhan tetapkan. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk membiarkan sesuatu berakhir. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk melihat "sesuatu yang berakhir" sebagai penutup sekaligus pembuka untuk bab lain dalam hidupku dimulai. Aku harap aku mempunyai keberanian untuk membuka lembaran baru. Dan ketika itu benar terjadi, aku harap aku mempunyai keberanian untuk mengakhiri pertengkaran dengan dirik...

Kursi Empuk, Rakyat Lempuk

Tulisan ini lahir karena gue muak. Muak melihat orang-orang yang katanya “wakil rakyat,” padahal kelakuannya lebih mirip wakil tuhan untuk dirinya sendiri. Mereka mestinya jadi corong jeritan, tapi telinga mereka ditutup rapat bukan pakai penutup kuping, tapi pakai tumpukan amplop. Mereka lupa, kursi empuk yang mereka duduki itu bukan hasil keringat sendiri. Itu kursi sewaan, dibayar pakai keringat rakyat yang tiap hari jungkir balik cari makan. Bedanya, rakyat duduk di bangku warteg, sementara mereka leha-leha di singgasana ber-AC, sibuk pura-pura serius sambil ngantuk. “Wakil rakyat”? Lucu. Yang mereka wakili cuma isi perut sendiri, dan kalau masih ada sisa ruang, ya buat kepentingan kolega elitnya. Lo pernah nggak sih kepikiran: kalau DPR itu bener-bener wakil rakyat, kenapa rakyatnya makin sengsara, tapi mereka makin sejahtera? Jangan-jangan kita salah kaprah soal istilah “wakil rakyat.” Mungkin maksudnya “wakil rakyat di mimpi rakyat ,” karena di kenyataan, mereka lebih mirip...

Ketika Dingin Mengembalikanmu Tapi Dalam Bentuk Ingatan

Ada perasaan yang lebih menusuk daripada sekedar kehilangan bahu untuk bersandar. Sayang, ada yang lebih menyesakkan daripada itu. Akhir-akhir ini cuaca sekitar Cimahi konsisten dingin, ia berperan sebagai pemengaruh suasana hingga aku begitu malas untuk beranjak dari tidur. Sialnya, dinginnya cuaca mengembalikan ingatanku terhadap artikulasi perih dan perasaan tentang hilangnya kamu sejak setahun terakhir. Seorang teman pernah berkata bahwa hubungan percintaan antara dua manusia ibarat dua ekor landak yang sedang berpelukan di musim dingin. Jika keduannya berpelukan duri dari diri masing-masing saling menancap dengan ramai satu sama lain. Menekan darah supaya terpancar dengan lancar agar keluar dari lapisan kulit, menyisakan luka. Namun, jika keduanya saling melepas peluk, mereka berdua, secara terpisah, namun satu sama lain sama-sama merasakan Epidermis-Dermis-Hipodermis membeku. Darah memang tidak terpencar luka memang tidak terlihat namun sakit tak bisa dilawan. Yang lebih menyesak...

Air di Gelas Retak: Sebuah Surat untuk Mamah

Dan, jika aku adalah retakan engkau adalah alasan mengapa aku tak pernah benar-benar hancur. Kau adlah objek yang tak pernah bosan keuceritakan keindahannya. Bahkan sebelum aku tahu cara menyebutkan kata mamah, kau sudah menjadi segalanya yang diam-diam kunamai sebagai tempat pulang. Kau perempuan yang tak bersayap, namun kutemukan terbang saat menyebut namaku dalam doamu. Aku tumbuh di antara kerikil dan luka yang kau tutupi dengan senyum, kau merapihkan isi dunia di depanku walau punggungmu dipenuhi duri yang tak sempat kau cabut. Aku lahir dari rahimmu, tapi hidupku tumbuh dari getar peluhmu yang tak sempat meminta tepuk tangan. Kau tak menciptakan dunia, namun jari-jarimu meluluhkan semesta kecil tempat aku belajar bernapas tanpa takut. Ada luka yang tak kau beri nama, karena kau tahu; Jika terlalu sering diucapkan, ia bisa tumbuh menjadi jendela tempat kelam mencuri masuk. Jadi kau jahit saja sunyi itu di bawah lidahmu, dan membiarkannya bernyanyi lewat nasi yang selalu hangat ata...

2

I imagine my life as the Euphrates and the Tigris—two currents born from the same womb of mountains, flowing through lands that once held the throne of civilization. Along their banks, countless seasons have sown seeds of hope and harvested stories; some grew into trees that offered shade, while others burned before they could bear fruit. I follow that current—sometimes side by side, sometimes apart—yet always moving toward the same mouth of the sea. Like the Euphrates embracing the Tigris in the lowlands, life will always meander between the hills of greed and the valleys of generosity. In every bend, the water carries fragments of earth that once formed palaces, only to crumble into grains of sand. There are days when my current runs strong, feeding fields and quenching the thirst of caravans’ camels. And there are days when I recede, leaving cracked mud and overturned boats stranded on a dry bed. Yet, like the Euphrates and the Tigris unable to resist the embrace of the delta, I t...

Dalam Diam, Terang Itu Tumbuh

Masih ada sejumput terang dalam genggamku, tak banyak tapi cukup jika kita peluk bersama. Meski remang-remang, meski kadang lupa cara menimang.  Maukah kau menghangatkan diri di dalamnya? Bukan matahari, bukan lentera megah, hanya secuil cahaya yang gemetar seperti di detak rindu yang tak pernah selesai kutulis. Langit sudah lama meremang, birunya mulai terhapus, dan malam kerap datang tanpa aba-aba, membawa selimut dingin padahal kau tak pernah ingin. Namun, pahamilah. Menggigil tak selalu berarti lemah, kadang ia hanya mencari alasan untuk dipeluk. Sungguh memang, aku tak punya banyak. Hanya pelita kecil yang kupelihara sisa dari harap-harap yang mati kemarin hari, dari napas yang kerap tercekat dan doa yang kerap gugur sebelum sempat dipeluk langit. Namun, jika kau mau; Kita bisa duduk berdampingan dalam gelap, dan menonton terang mungil ini menari di antara dua dada yang sama-sama pernah dirobek oleh waktu. Terangnya tak menyilaukan, namun cukup untuk kita berbagi hangat di ten...

Bukan Sepi

Ruang yang tak terisi itu sebuah pembenaran atas dasar pengenalan terhadap diri sendiri. Bukan sepi, melainkan sebuah tata cara agar lebih mengenal identitas diri. Aku bertemu dengan diriku yang lebih muda di sebuah cafe, dia datang tergesa-gesa sedang aku datang jauh lebih santai namun tepat waktu. Aku menyapanya dengan riang begitupun dia menyambut ku dengan seuntai senyuman. Aku tahu dalam hatinya menyimpan banyak rasa tidak nyaman, dia hanya berusaha ceria memaklumi beberapa sudut pandang orang-orang yang mungkin menyinggung banyak emosi dalam dirinya. Kita mengobrol banyak hal, aku memesan secangkir teh hangat sedang ia memesan ice coklat lengkap dengan brownies panggang yang dipercantik dengan taburan gula halus serta sepotong strawberry segar. Aku tahu, sepiring brownies itu adalah obat bagi hatinya yang mungkin patah hari ini. Ibarat kata, "hidup harus punya satu alasan untuk bertahan." Dia begitu menggebu-gebu menceritakan perihal masa depan, namun aku menangkap sedi...